Senin, 07 Maret 2016

makalah psikologi (teori perbandingan tingkahlaku keagamaan)

MAKALAH
AGAMA SEBAGAI PERTUKARAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
SOSIOLOGI AGAMA II

oleh
Aris Heryana
Asep Maulana
Dela Anjayani



Perbandingan Agama/IV/A

FAKULTAS USHULUDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR

Bismillâhirahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Wa rahmatullâhi Wa barrakatuh.
Alhamdullillâhi rabbil’âlamîn, arrahmânirrahîm, mâliki yawmiddîn.
Puji syukur senantiasa terucap kepada Dzat Yang Maha Mutlak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hanya atas berkat rahmât dan ridla-Nya Makalah ini dapat rampung. Shalawat wa Salam juga tercurah limpahkan kepada tokoh peradaban manusia, pembela kaum mustadhafîn dan dhu’afa, Rasulullah Muhammad Salallâhu ‘alaihi Wassalam. Tujuan dalam pembuatan makalah ini tidak lain adalah untuk mempelajari secara seksama terhadap prilaku sosial yang menunjukan adanya pertukaran sosial (exchange) dalam “Agama sebagai Pertukaran” dengan menggunakan teori pertukaran (exchange theory).
 Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, Penulis mengharapkan saran dan kritik guna proses perbaikan dimasa yang akan datang. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’în, ihdinashirâttal mustaqîm, shirâtal ladzîna an’amta ‘alayhim ghayril maghdhȗbi ‘alayhim wa ladhâllîn.
Wassalam.



Bandung,   Februari 2016


Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama dan Fungsinya
B.     Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
C.     Agama sebagai Pertukaran
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Manusia hidup tidak sebagai mahluk tunggal atau individu melainkan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan interaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
Interaksi yang terjadi menjadi sebuah proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau kebutuhannya tersebut. Dalam proses itu terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan. Unsur-unsur ini muncul dalam teori pertukaran sosial (Social Exchange).
Teori pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya (Sasa Djuarsa, 2002: 81). Sedangkan menurut Nina Syam, teori ini melihat hubungan antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal) (Nina Syam: 2012, 67).
Asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya (Burhan Bungin: 2008, 267).
Berbagai norma berlaku untuk mengikat cara-cara individu dalam hidup bermasyarakat. Di antaranya, norma adat/budaya, hukum serta agama. Prinsip-prinsip ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) dalam agama khususnya Islam seringkali membicaraknya dengan sebutan yang kita kenal dengan pahala dan dosa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa itu Agama?
2.      Apa itu teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi?
3.      Apa itu Agama sebagai Pertukaran?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Agama
2.      Untuk mengetahui teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
3.      Untuk mengetahui Agama sebagai Pertukaran

























BAB II
PEMBAHSAN

A. Pengertian Agama dan Fungsinya
Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan dalam bahasa Inggris yaitu Religion yang berasal dari bahasa latin, yaitu Religio yang berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agana dikenal dengan kata al-Din dan al-Milah. Pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditunjukan pada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.[1]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.[2] Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan pada hal-hal spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan sendiri; (3) ideologi mengenai hal-hal yang supranatural. Sementara itu, Thomas F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra empiris.[3]
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama jelas merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.[4]
Agama sesungguhnya tidak mudah untuk didefinisikan atau dilukiskan, karena agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam  diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Dunia. Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan.
Seorang sosiolog mendefinisikannya sebagai “sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menggapai apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural)[5]. Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa, agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Menurutnya tak ada satu pun definisi tentag agama yang benar-benar memuaskan.[6]
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.[7]
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi; (2) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada; (3) sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat; (4) pengkoreksi fungsi yang sudah ada; (5) pemberi identitas diri; (6) pendewasaan agam.[8] Fungsi agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamat, pengawas sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.[9]

B. Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi maupun non-materi. Teori pertukaran baik yang dikemukakan oleh teoritisi klasik maupun modern dapat dijadikan pendekatan untuk menganalisis realitas dan perubahan sosial. Keberadaan suatu komunitas dalam berhubungan dengan komunitas lain atau hubungan antar anggota dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu titik dimana terjadi keseimbangan satu sama lain (equilibrium), sehingga anggota komunitas memiliki kepuasan baru.
Dalam metode pertukaran dapat disimpulkan bahwa bila tindakan manusia selalu mendapatkan imbalan (reward), manusia cenderung akan melakukan tindakan tersebut secara terus menerus. Ahli teori pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tatapi, mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata.[10]
1. Teori Pertukaran Sosial Thibaut dan Kelly 
Pada umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut, yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Thibault dan Kelly merasa yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok besar mungkin dapat diperoleh cara menggali pola hubungan 2 orang. (Syaiful Rohim: 2009, 90).
Dalam teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya (Little John: 2011, 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang laian disebut comparison levels (Burhan Bungin: 2006, 263).
 2. Teori Pertukaran Sosial George C. Homans
Keseluruhan materi Teori Exchange itu secar garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima proposisi George Homan berikut:
1.      Jika tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dan apa yang terjadi pada waktu sekarang.
2.      Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkahlaku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkahlaku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang tingkahlakunya itu. Ini juga berlaku terhadap tingkahlaku yang tidak melibatkan orang lain, yang oleh paradigma fakta sosial tidak dianggap sebagai objek studi sosiologi seperti tingkhlaku yang berhubungan dengan objek material.
3.      Memberikan arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin seriang ia akan mengulangi tingkahlakunya itu. Dalam proposisi inilah Homan meletakkan tekanan dari exchange teorinya. Pertukaran kembali itu (re-exchange)ntentu berlaku kepada kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan tehadap orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai nilai yang lebih berarti bagi orang lain itu. Sebab bila ganjaran yang akan diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu tingkahlaku masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut. Tetapi kedalam perhitungan cost-benefit itu akan masuk juga perhitungan subyektif, yang semata-mata tidak bersifat ekonomis. Sehingga apa yang dinilai tinggi leh seseorang mungkin tidak demikian bagi orang lain. Exchange tidak akan terjadi bila nilai sesuatu yang dipertukarkan itu sama. Karena itu exchange hanya akan terjadi bila cost yang diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar. Karena exchange itu terjadi pada konteks berbeda antara kedua pihak maka kedua pihak sama-sama merasa mendapat untung. Dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis.
4.      Makin sering seseorang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Idi proposisi ini berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi.
5.      Makin sering seseorang dirugikan dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah. Proposisi ini berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice) dalam proses tukar menukar.[11]
Letak pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri: Pertama, Dasar dari perilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran perilaku. Kedua, perilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, perilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari bangun sosial yang lebih besar.[12]
3. Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Blau mengatakan tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Social Exchange yang dimaksudkan dalam teori Blau ialah terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung muncul. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi prilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: pertama, prilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, prilaku harus bertujuan untuk memproleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[13] Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang-barang atau jasa-jasa) atau instrinsik (termasuk kasih sayang, kehormatan atau kecantikan).[14]
Ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu:
1.      Pertukaran atau transaksi antar individu yang menuju ke social change
2.      Diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke social change
3.      Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change
4.      Oposisi dan pertukaran (Ritzer, 1996: 369).

C. Agama sebagai Pertukaran
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural), memang memilikilatar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan para ahli yang memilki disiplin ilmu yag berbeda, Para antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang supernatural itu dari sudut pandang kebudayaan.[15]
Demikian pula para sosiolog yang menggunakan pendekatan sosiologi berpendapat bahwa dalam kehidupan masyarakat primitif dijumpai adanya semacam norma yang mengatur kehidupan mereka.norma-norma tersebut ada yang dilembagakan menjadi tata kehidupan berbermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual.[16]
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering ”terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta.[17] Dari gambaran Elizabeth, sudah telihat bahwa agama itu menjadi sebuah pertukaran sosial. Karena pertukaran sosial sama halnya dengan sebuah transaksi, jika seseorang memeluk dan mentaati agamanya maka dia kan mendapatkan kebahagian batin yang paling sempurna, namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985: 3-4).[18]
Dalam kehidupan sehari-hari tampak ada hubungan timbal balik antara agama dengan manusia dan antara agama dengan fakta sosial dan kehidupan sehari-hari. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai begi kehidupan manusia sebagai 0rang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat.selain itu, agama juga memberikan dampak bagi kehidupan sehari-hari.[19]
Semua agama menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, melainkan juga memikirkan kepentingan bersama.
1)      Agama sebagai Suatu Tahap Evolusi
Auguste Comte, yang sering dipandang sebagao “bapak sosiologi”, menyodorkan pandangan sekuler bahwa agama merupakan suatu tahap evolusi. Singkatnya, gagasan ini berarti bahwa agama pernah dipandang penting, namun sudah menjadi usang lantaran perkembangan modern. Yang Kudus (The Sacred), yang merupakan wewenang agama, digantikan dengan yang sekuler, atau yang digeserkan dari yang adikodrati (supranatural).[20]
Sistem keyakinan religious sudah digantikan dengan pengethuan ilmiah, sedangkan karya-karya pelayanan, penyembahan, pendidikan, dan sosial dari gereja sudah diambil-alih oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok swasta non-religious. Comte (1855) menuliskan tiga tahap pemikiran manusia: teologis (religious), metafisis (filosofis), ilmiah (positif). Bagi Comte hanya tahap terakhir yang sah, apabila agama masih bertahan, itu pun hanya sebagai “agama humanitas” yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa, pemikiran ilmiah sangat mempengaruhi sistem keyakinan agama tradisional dan bahwa banyak fungsi lembaga agama sudah berubah.[21]
2)      Agama sebagai Kekuatan Pemersatu Masyarakat
Emile Durkheim menyimpulkan bahwa, tujuan utama agama dalam masyrakat primitif adalah untuk membantu orang berkuntak bukan dengan Tuhannya, tetapi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community). Misalnya, mereka bersama-sama ambil bagian dalam peristiwa perkawinan, kelahiran dan kematian, serta bersama-sama merayakan musim tanam dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok, tidak seorang pun menghadapi kehidupan ini sendirian. Dalam suatu negara yang di dalamnya terdapat beragam keyakinan dan denominasi agama tidak dengan mudah mempersatukan masing-masing kelompok religius dalam suatu sistem yang saling menopang.[22]






















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian.
Thibaut dan Kelly, dalam teori pertukaran sosial (exchange thery) mengatakan, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya. Jadi prilaku sosial terdiri atas pertukaran, paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang lain disebut Comparsion Levels.
Teori Homans memiliki tiga ciri: Pertama, dasar dari prilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran prilaku. Kedua,  prilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, prilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondasi dasar dari bangunan sosial yanglebih besar.
Peter M. Blau, menurutnya ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu: pertukaran atau transaksi antar individu yang menuju ke  social change, diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke social change, legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change, oposisi dan pertukaran.
Semua agama menekan kebijakan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan memikirkan kepentingan bersama.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984)
2.      George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
3.      Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
4.     Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
5.     Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000).
6.     Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
7.     Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kansius, 1984).




[1]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[2]Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 194), hlm. 34.
[3]Thomas F. O’DeaMAKALAH
AGAMA SEBAGAI PERTUKARAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
SOSIOLOGI AGAMA II

oleh
Aris Heryana
Asep Maulana
Dela Anjayani



Perbandingan Agama/IV/A

FAKULTAS USHULUDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR

Bismillâhirahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Wa rahmatullâhi Wa barrakatuh.
Alhamdullillâhi rabbil’âlamîn, arrahmânirrahîm, mâliki yawmiddîn.
Puji syukur senantiasa terucap kepada Dzat Yang Maha Mutlak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hanya atas berkat rahmât dan ridla-Nya Makalah ini dapat rampung. Shalawat wa Salam juga tercurah limpahkan kepada tokoh peradaban manusia, pembela kaum mustadhafîn dan dhu’afa, Rasulullah Muhammad Salallâhu ‘alaihi Wassalam. Tujuan dalam pembuatan makalah ini tidak lain adalah untuk mempelajari secara seksama terhadap prilaku sosial yang menunjukan adanya pertukaran sosial (exchange) dalam “Agama sebagai Pertukaran” dengan menggunakan teori pertukaran (exchange theory).
 Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, Penulis mengharapkan saran dan kritik guna proses perbaikan dimasa yang akan datang. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’în, ihdinashirâttal mustaqîm, shirâtal ladzîna an’amta ‘alayhim ghayril maghdhȗbi ‘alayhim wa ladhâllîn.
Wassalam.



Bandung,   Februari 2016


Penulis





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama dan Fungsinya
B.     Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
C.     Agama sebagai Pertukaran
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Manusia hidup tidak sebagai mahluk tunggal atau individu melainkan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan interaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
Interaksi yang terjadi menjadi sebuah proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau kebutuhannya tersebut. Dalam proses itu terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan. Unsur-unsur ini muncul dalam teori pertukaran sosial (Social Exchange).
Teori pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya (Sasa Djuarsa, 2002: 81). Sedangkan menurut Nina Syam, teori ini melihat hubungan antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal) (Nina Syam: 2012, 67).
Asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya (Burhan Bungin: 2008, 267).
Berbagai norma berlaku untuk mengikat cara-cara individu dalam hidup bermasyarakat. Di antaranya, norma adat/budaya, hukum serta agama. Prinsip-prinsip ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) dalam agama khususnya Islam seringkali membicaraknya dengan sebutan yang kita kenal dengan pahala dan dosa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa itu Agama?
2.      Apa itu teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi?
3.      Apa itu Agama sebagai Pertukaran?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Agama
2.      Untuk mengetahui teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
3.      Untuk mengetahui Agama sebagai Pertukaran

























BAB II
PEMBAHSAN

A. Pengertian Agama dan Fungsinya
Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan dalam bahasa Inggris yaitu Religion yang berasal dari bahasa latin, yaitu Religio yang berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agana dikenal dengan kata al-Din dan al-Milah. Pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditunjukan pada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.[1]
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.[2] Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan pada hal-hal spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan sendiri; (3) ideologi mengenai hal-hal yang supranatural. Sementara itu, Thomas F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra empiris.[3]
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama jelas merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.[4]
Agama sesungguhnya tidak mudah untuk didefinisikan atau dilukiskan, karena agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam  diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Dunia. Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan.
Seorang sosiolog mendefinisikannya sebagai “sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menggapai apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural)[5]. Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa, agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Menurutnya tak ada satu pun definisi tentag agama yang benar-benar memuaskan.[6]
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.[7]
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi; (2) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada; (3) sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat; (4) pengkoreksi fungsi yang sudah ada; (5) pemberi identitas diri; (6) pendewasaan agam.[8] Fungsi agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamat, pengawas sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.[9]

B. Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi maupun non-materi. Teori pertukaran baik yang dikemukakan oleh teoritisi klasik maupun modern dapat dijadikan pendekatan untuk menganalisis realitas dan perubahan sosial. Keberadaan suatu komunitas dalam berhubungan dengan komunitas lain atau hubungan antar anggota dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu titik dimana terjadi keseimbangan satu sama lain (equilibrium), sehingga anggota komunitas memiliki kepuasan baru.
Dalam metode pertukaran dapat disimpulkan bahwa bila tindakan manusia selalu mendapatkan imbalan (reward), manusia cenderung akan melakukan tindakan tersebut secara terus menerus. Ahli teori pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tatapi, mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata.[10]
1. Teori Pertukaran Sosial Thibaut dan Kelly 
Pada umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut, yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Thibault dan Kelly merasa yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok besar mungkin dapat diperoleh cara menggali pola hubungan 2 orang. (Syaiful Rohim: 2009, 90).
Dalam teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya (Little John: 2011, 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang laian disebut comparison levels (Burhan Bungin: 2006, 263).
 2. Teori Pertukaran Sosial George C. Homans
Keseluruhan materi Teori Exchange itu secar garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima proposisi George Homan berikut:
1.      Jika tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dan apa yang terjadi pada waktu sekarang.
2.      Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkahlaku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkahlaku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang tingkahlakunya itu. Ini juga berlaku terhadap tingkahlaku yang tidak melibatkan orang lain, yang oleh paradigma fakta sosial tidak dianggap sebagai objek studi sosiologi seperti tingkhlaku yang berhubungan dengan objek material.
3.      Memberikan arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin seriang ia akan mengulangi tingkahlakunya itu. Dalam proposisi inilah Homan meletakkan tekanan dari exchange teorinya. Pertukaran kembali itu (re-exchange)ntentu berlaku kepada kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan tehadap orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai nilai yang lebih berarti bagi orang lain itu. Sebab bila ganjaran yang akan diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu tingkahlaku masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut. Tetapi kedalam perhitungan cost-benefit itu akan masuk juga perhitungan subyektif, yang semata-mata tidak bersifat ekonomis. Sehingga apa yang dinilai tinggi leh seseorang mungkin tidak demikian bagi orang lain. Exchange tidak akan terjadi bila nilai sesuatu yang dipertukarkan itu sama. Karena itu exchange hanya akan terjadi bila cost yang diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar. Karena exchange itu terjadi pada konteks berbeda antara kedua pihak maka kedua pihak sama-sama merasa mendapat untung. Dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis.
4.      Makin sering seseorang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Idi proposisi ini berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi.
5.      Makin sering seseorang dirugikan dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah. Proposisi ini berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice) dalam proses tukar menukar.[11]
Letak pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri: Pertama, Dasar dari perilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran perilaku. Kedua, perilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, perilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari bangun sosial yang lebih besar.[12]
3. Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Blau mengatakan tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Social Exchange yang dimaksudkan dalam teori Blau ialah terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung muncul. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi prilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: pertama, prilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, prilaku harus bertujuan untuk memproleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[13] Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang-barang atau jasa-jasa) atau instrinsik (termasuk kasih sayang, kehormatan atau kecantikan).[14]
Ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu:
1.      Pertukaran atau transaksi antar individu yang menuju ke social change
2.      Diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke social change
3.      Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change
4.      Oposisi dan pertukaran (Ritzer, 1996: 369).

C. Agama sebagai Pertukaran
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural), memang memilikilatar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan para ahli yang memilki disiplin ilmu yag berbeda, Para antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang supernatural itu dari sudut pandang kebudayaan.[15]
Demikian pula para sosiolog yang menggunakan pendekatan sosiologi berpendapat bahwa dalam kehidupan masyarakat primitif dijumpai adanya semacam norma yang mengatur kehidupan mereka.norma-norma tersebut ada yang dilembagakan menjadi tata kehidupan berbermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual.[16]
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering ”terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta.[17] Dari gambaran Elizabeth, sudah telihat bahwa agama itu menjadi sebuah pertukaran sosial. Karena pertukaran sosial sama halnya dengan sebuah transaksi, jika seseorang memeluk dan mentaati agamanya maka dia kan mendapatkan kebahagian batin yang paling sempurna, namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985: 3-4).[18]
Dalam kehidupan sehari-hari tampak ada hubungan timbal balik antara agama dengan manusia dan antara agama dengan fakta sosial dan kehidupan sehari-hari. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai begi kehidupan manusia sebagai 0rang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat.selain itu, agama juga memberikan dampak bagi kehidupan sehari-hari.[19]
Semua agama menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, melainkan juga memikirkan kepentingan bersama.
1)      Agama sebagai Suatu Tahap Evolusi
Auguste Comte, yang sering dipandang sebagao “bapak sosiologi”, menyodorkan pandangan sekuler bahwa agama merupakan suatu tahap evolusi. Singkatnya, gagasan ini berarti bahwa agama pernah dipandang penting, namun sudah menjadi usang lantaran perkembangan modern. Yang Kudus (The Sacred), yang merupakan wewenang agama, digantikan dengan yang sekuler, atau yang digeserkan dari yang adikodrati (supranatural).[20]
Sistem keyakinan religious sudah digantikan dengan pengethuan ilmiah, sedangkan karya-karya pelayanan, penyembahan, pendidikan, dan sosial dari gereja sudah diambil-alih oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok swasta non-religious. Comte (1855) menuliskan tiga tahap pemikiran manusia: teologis (religious), metafisis (filosofis), ilmiah (positif). Bagi Comte hanya tahap terakhir yang sah, apabila agama masih bertahan, itu pun hanya sebagai “agama humanitas” yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa, pemikiran ilmiah sangat mempengaruhi sistem keyakinan agama tradisional dan bahwa banyak fungsi lembaga agama sudah berubah.[21]
2)      Agama sebagai Kekuatan Pemersatu Masyarakat
Emile Durkheim menyimpulkan bahwa, tujuan utama agama dalam masyrakat primitif adalah untuk membantu orang berkuntak bukan dengan Tuhannya, tetapi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community). Misalnya, mereka bersama-sama ambil bagian dalam peristiwa perkawinan, kelahiran dan kematian, serta bersama-sama merayakan musim tanam dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok, tidak seorang pun menghadapi kehidupan ini sendirian. Dalam suatu negara yang di dalamnya terdapat beragam keyakinan dan denominasi agama tidak dengan mudah mempersatukan masing-masing kelompok religius dalam suatu sistem yang saling menopang.[22]






















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian.
Thibaut dan Kelly, dalam teori pertukaran sosial (exchange thery) mengatakan, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya. Jadi prilaku sosial terdiri atas pertukaran, paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang lain disebut Comparsion Levels.
Teori Homans memiliki tiga ciri: Pertama, dasar dari prilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran prilaku. Kedua,  prilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, prilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondasi dasar dari bangunan sosial yanglebih besar.
Peter M. Blau, menurutnya ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu: pertukaran atau transaksi antar individu yang menuju ke  social change, diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke social change, legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change, oposisi dan pertukaran.
Semua agama menekan kebijakan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan memikirkan kepentingan bersama.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984)
2.      George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
3.      Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
4.     Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
5.     Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000).
6.     Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
7.     Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kansius, 1984).



[1]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[2]Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 194), hlm. 34.
[3]Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama
[4]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 129.
[5]Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984), hlm. 304.
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 305.
[7]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 130.
[8]Thomas F. O’Dea, Op.Cit, hlm. 26.
[9]Hendropuspito, Op.Cit, hlm. 38.
[10]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 58.
[11]George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 79-80.
[12]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[13]Ibid, hlm. 82.
[14]Ibid.
[15]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 1.
[16]Ibid, hlm. 2.
[17]Jalaluddin, op.cit, hlm. 305.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Paul B. Horton & Chester L. Hunt, op.cit, hlm. 306.
[21]Ibid.
[22]Ibid., Sosiologi Agama
[4]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 129.
[5]Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984), hlm. 304.
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 305.
[7]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 130.
[8]Thomas F. O’Dea, Op.Cit, hlm. 26.
[9]Hendropuspito, Op.Cit, hlm. 38.
[10]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 58.
[11]George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 79-80.
[12]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[13]Ibid, hlm. 82.
[14]Ibid.
[15]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 1.
[16]Ibid, hlm. 2.
[17]Jalaluddin, op.cit, hlm. 305.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Paul B. Horton & Chester L. Hunt, op.cit, hlm. 306.
[21]Ibid.
[22]Ibid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar