MAKALAH
AGAMA SEBAGAI PERTUKARAN
Diajukan
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
SOSIOLOGI
AGAMA II
oleh
Aris Heryana
Asep
Maulana
Dela
Anjayani
Perbandingan Agama/IV/A
FAKULTAS USHULUDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Bismillâhirahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Wa rahmatullâhi Wa barrakatuh.
Alhamdullillâhi rabbil’âlamîn, arrahmânirrahîm, mâliki yawmiddîn.
Puji syukur senantiasa terucap kepada Dzat Yang Maha Mutlak, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Hanya atas berkat rahmât dan ridla-Nya Makalah ini
dapat rampung. Shalawat wa Salam juga tercurah limpahkan kepada tokoh
peradaban manusia, pembela kaum mustadhafîn dan dhu’afa,
Rasulullah Muhammad Salallâhu ‘alaihi Wassalam. Tujuan dalam pembuatan
makalah ini tidak lain adalah untuk mempelajari secara seksama terhadap prilaku
sosial yang menunjukan adanya pertukaran sosial (exchange) dalam “Agama sebagai Pertukaran” dengan menggunakan teori pertukaran (exchange theory).
Akhir kata, tak ada
gading yang tak retak. Makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, Penulis mengharapkan saran dan
kritik guna proses perbaikan dimasa yang akan datang. Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’în, ihdinashirâttal mustaqîm, shirâtal ladzîna an’amta ‘alayhim
ghayril maghdhȗbi ‘alayhim wa ladhâllîn.
Wassalam.
Bandung, Februari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama dan Fungsinya
B. Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
C. Agama sebagai Pertukaran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani
kehidupannya. Manusia hidup tidak sebagai mahluk tunggal atau individu
melainkan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
interaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
Interaksi
yang terjadi menjadi sebuah proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau
kebutuhannya tersebut. Dalam proses itu terdapat unsur ganjaran, pengorbanan
dan keuntungan. Unsur-unsur ini muncul dalam teori pertukaran sosial (Social
Exchange).
Teori
pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan
mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya,
khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan,
orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya
(Sasa Djuarsa, 2002: 81). Sedangkan menurut Nina Syam, teori ini melihat
hubungan antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal) (Nina Syam: 2012, 67).
Asumsi
tentang perhitungan antara ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) tidak berarti
bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang
lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang
diinginkannya (Burhan Bungin: 2008, 267).
Berbagai
norma berlaku untuk mengikat cara-cara individu dalam hidup bermasyarakat. Di
antaranya, norma adat/budaya, hukum serta agama. Prinsip-prinsip ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) dalam agama
khususnya Islam seringkali membicaraknya dengan sebutan yang kita kenal dengan
pahala dan dosa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa itu Agama?
2.
Apa itu teori
Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi?
3.
Apa itu Agama
sebagai Pertukaran?
C. Tujuan
Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui Agama
2.
Untuk mengetahui
teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
3.
Untuk mengetahui
Agama sebagai Pertukaran
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Agama dan Fungsinya
Agama
diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang
berarti “tidak” dan gama yang berarti
“kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang
mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan dalam bahasa Inggris
yaitu Religion yang berasal dari
bahasa latin, yaitu Religio yang
berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agana dikenal dengan kata al-Din dan
al-Milah. Pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum.
Artinya, tidak ditunjukan pada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap
kepercayaan yang ada di dunia ini.[1]
Menurut
Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayai dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumnya.[2]
Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan
pada hal-hal spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual
yang dianggap sebagai tujuan sendiri; (3) ideologi mengenai hal-hal yang
supranatural. Sementara itu, Thomas F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah
pendayagunaan sarana-sarana supra empiris.[3]
Dari
beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama jelas merupakan suatu hal
yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar
jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.[4]
Agama
sesungguhnya tidak mudah untuk didefinisikan atau dilukiskan, karena agama
mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Dunia.
Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat
ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan.
Seorang
sosiolog mendefinisikannya sebagai “sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai
sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menggapai apa yang mereka
rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural)[5].
Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa, agama bukan sesuatu yang dapat
dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).
Menurutnya tak ada satu pun definisi tentag agama yang benar-benar memuaskan.[6]
Adapun
yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara
empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian. Oleh karena
itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa
sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.[7]
Thomas
F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur
lara dan perekonsiliasi; (2) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah
ada; (3) sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat; (4)
pengkoreksi fungsi yang sudah ada; (5) pemberi identitas diri; (6) pendewasaan
agam.[8]
Fungsi agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya
hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamat, pengawas
sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.[9]
B.
Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu
melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi
maupun non-materi. Teori pertukaran baik yang dikemukakan oleh teoritisi klasik
maupun modern dapat dijadikan pendekatan untuk menganalisis realitas dan perubahan
sosial. Keberadaan suatu komunitas dalam berhubungan dengan komunitas lain atau
hubungan antar anggota dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu
titik dimana terjadi keseimbangan satu sama lain (equilibrium), sehingga
anggota komunitas memiliki kepuasan baru.
Dalam metode pertukaran dapat disimpulkan bahwa bila
tindakan manusia selalu mendapatkan imbalan (reward), manusia cenderung
akan melakukan tindakan tersebut secara terus menerus. Ahli teori
pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan
transaksi ekonomi. Akan tatapi, mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak
selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial
dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata.[10]
1. Teori
Pertukaran Sosial Thibaut dan Kelly
Pada
umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat
lain dilihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan
tersebut, yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit). Thibault dan Kelly merasa
yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok
besar mungkin dapat diperoleh cara menggali pola hubungan 2 orang. (Syaiful
Rohim: 2009, 90).
Dalam
teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi:
anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya (Little John:
2011, 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar
dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan
pertukaran antara untung dan rugi dengan orang laian disebut comparison
levels (Burhan Bungin: 2006, 263).
2. Teori
Pertukaran Sosial George C. Homans
Keseluruhan
materi Teori Exchange itu secar garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima
proposisi George Homan berikut:
1. Jika
tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu
memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau kejadian yang
mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan.
Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dan
apa yang terjadi pada waktu sekarang.
2. Menyangkut
frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkahlaku tertentu dan
kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. Makin sering
dalam peristiwa tertentu tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap
tingkahlaku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang
tingkahlakunya itu. Ini juga berlaku terhadap tingkahlaku yang tidak melibatkan
orang lain, yang oleh paradigma fakta sosial tidak dianggap sebagai objek studi
sosiologi seperti tingkhlaku yang berhubungan dengan objek material.
3. Memberikan
arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain terhadap
aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang
ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin seriang ia akan
mengulangi tingkahlakunya itu. Dalam proposisi inilah Homan meletakkan tekanan
dari exchange teorinya. Pertukaran kembali itu (re-exchange)ntentu berlaku
kepada kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan tehadap orang lain adalah yang
mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai
nilai yang lebih berarti bagi orang lain itu. Sebab bila ganjaran yang akan
diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu tingkahlaku
masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut. Tetapi kedalam perhitungan
cost-benefit itu akan masuk juga perhitungan subyektif, yang semata-mata tidak
bersifat ekonomis. Sehingga apa yang dinilai tinggi leh seseorang mungkin tidak
demikian bagi orang lain. Exchange tidak akan terjadi bila nilai sesuatu yang
dipertukarkan itu sama. Karena itu exchange hanya akan terjadi bila cost yang
diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar. Karena exchange itu
terjadi pada konteks berbeda antara kedua pihak maka kedua pihak sama-sama
merasa mendapat untung. Dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis.
4. Makin
sering seseorang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin
berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Idi proposisi
ini berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi.
5. Makin
sering seseorang dirugikan dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar
kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah. Proposisi
ini berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice) dalam proses tukar menukar.[11]
Letak
pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri: Pertama, Dasar
dari perilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran perilaku. Kedua,
perilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada
saat mengadakan interaksi. Ketiga, perilaku sosial pada
dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari
bangun sosial yang lebih besar.[12]
3. Teori
Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Blau
mengatakan tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertukaran sosial,
tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Social Exchange yang
dimaksudkan dalam teori Blau ialah terbatas pada tindakan-tindakan yang
tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila
reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung muncul. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus
dipenuhi bagi prilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: pertama, prilaku tersebut harus
berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi
dengan orang lain. Kedua, prilaku
harus bertujuan untuk memproleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[13]
Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran
ekstrinsik (seperti uang, barang-barang atau jasa-jasa) atau instrinsik (termasuk kasih sayang,
kehormatan atau kecantikan).[14]
Ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran
antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu:
1.
Pertukaran atau
transaksi antar individu yang menuju ke social
change
2.
Diferensiasi
status dan kekuasaan yang mengarah ke social
change
3.
Legitimasi dan
pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change
4.
Oposisi dan
pertukaran (Ritzer, 1996: 369).
C. Agama
sebagai Pertukaran
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap
adikodrati (supernatural), memang memilikilatar belakang sejarah yang sudah
lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari berbagai
pernyataan para ahli yang memilki disiplin ilmu yag berbeda, Para
antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang supernatural itu dari sudut
pandang kebudayaan.[15]
Demikian
pula para sosiolog yang menggunakan pendekatan sosiologi berpendapat bahwa
dalam kehidupan masyarakat primitif dijumpai adanya semacam norma yang mengatur
kehidupan mereka.norma-norma tersebut ada yang dilembagakan menjadi tata
kehidupan berbermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual.[16]
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah
gejala yang begitu sering ”terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri
dan keberadaan alam semesta.[17] Dari
gambaran Elizabeth, sudah telihat bahwa agama itu menjadi sebuah pertukaran
sosial. Karena pertukaran sosial sama halnya dengan sebuah transaksi, jika
seseorang memeluk dan mentaati agamanya maka dia kan mendapatkan kebahagian
batin yang paling sempurna, namun agama juga melibatkan dirinya dalam
masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985:
3-4).[18]
Dalam kehidupan sehari-hari tampak ada hubungan timbal
balik antara agama dengan manusia dan antara agama dengan fakta sosial dan
kehidupan sehari-hari. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang bersifat Adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam
ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai begi kehidupan
manusia sebagai 0rang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan
bermasyarakat.selain itu, agama juga memberikan dampak bagi kehidupan
sehari-hari.[19]
Semua agama menekankan kebajikan seperti kejujuran dan
cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku
masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial.
Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang
membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri saja, melainkan juga memikirkan kepentingan
bersama.
1)
Agama sebagai
Suatu Tahap Evolusi
Auguste
Comte, yang sering dipandang sebagao “bapak sosiologi”, menyodorkan pandangan
sekuler bahwa agama merupakan suatu tahap evolusi. Singkatnya, gagasan ini
berarti bahwa agama pernah dipandang penting, namun sudah menjadi usang
lantaran perkembangan modern. Yang Kudus
(The Sacred), yang merupakan wewenang agama, digantikan dengan yang sekuler, atau yang digeserkan dari yang
adikodrati (supranatural).[20]
Sistem
keyakinan religious sudah digantikan dengan pengethuan ilmiah, sedangkan
karya-karya pelayanan, penyembahan, pendidikan, dan sosial dari gereja sudah
diambil-alih oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok swasta
non-religious. Comte (1855) menuliskan tiga tahap pemikiran manusia: teologis
(religious), metafisis (filosofis), ilmiah (positif). Bagi Comte hanya tahap
terakhir yang sah, apabila agama masih bertahan, itu pun hanya sebagai “agama
humanitas” yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa,
pemikiran ilmiah sangat mempengaruhi sistem keyakinan agama tradisional dan bahwa
banyak fungsi lembaga agama sudah berubah.[21]
2)
Agama sebagai
Kekuatan Pemersatu Masyarakat
Emile Durkheim menyimpulkan bahwa, tujuan utama agama
dalam masyrakat primitif adalah untuk membantu orang berkuntak bukan dengan
Tuhannya, tetapi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk
mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of
community). Misalnya, mereka bersama-sama ambil bagian dalam peristiwa
perkawinan, kelahiran dan kematian, serta bersama-sama merayakan musim tanam
dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok, tidak seorang pun menghadapi
kehidupan ini sendirian. Dalam suatu negara yang di dalamnya terdapat beragam
keyakinan dan denominasi agama tidak dengan mudah mempersatukan masing-masing
kelompok religius dalam suatu sistem yang saling menopang.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran
penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan
kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat
mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran
agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak
dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan
ketidak pastian.
Thibaut dan Kelly, dalam teori pertukaran sosial (exchange thery) mengatakan, interaksi
manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba memaksimalkan manfaat
dan memperkecil biaya. Jadi prilaku sosial terdiri atas pertukaran, paling
sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi
keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang lain disebut Comparsion Levels.
Teori Homans
memiliki tiga ciri: Pertama, dasar
dari prilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran prilaku. Kedua, prilaku sosial pada dasarnya berjalan secara
alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, prilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil
dan ini merupakan pondasi dasar dari bangunan sosial yanglebih besar.
Peter M. Blau,
menurutnya ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke
struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu: pertukaran atau transaksi
antar individu yang menuju ke social change, diferensiasi status dan
kekuasaan yang mengarah ke social change,
legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change, oposisi dan pertukaran.
Semua agama
menekan kebijakan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini
sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan
dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia
dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong
manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan
memikirkan kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Paul
B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi
Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984)
2. George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
3. Margaret
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
4.
Jalaluddin, Psikologi Agama,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009).
5.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000).
6.
Thomas F. O’Dea,
Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
7.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit
Kansius, 1984).
[1]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[2]Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 194), hlm. 34.
AGAMA SEBAGAI PERTUKARAN
Diajukan
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
SOSIOLOGI
AGAMA II
oleh
Aris Heryana
Asep
Maulana
Dela
Anjayani
Perbandingan Agama/IV/A
FAKULTAS USHULUDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Bismillâhirahmânirrahîm.
Assalamu’alaikum Wa rahmatullâhi Wa barrakatuh.
Alhamdullillâhi rabbil’âlamîn, arrahmânirrahîm, mâliki yawmiddîn.
Puji syukur senantiasa terucap kepada Dzat Yang Maha Mutlak, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Hanya atas berkat rahmât dan ridla-Nya Makalah ini
dapat rampung. Shalawat wa Salam juga tercurah limpahkan kepada tokoh
peradaban manusia, pembela kaum mustadhafîn dan dhu’afa,
Rasulullah Muhammad Salallâhu ‘alaihi Wassalam. Tujuan dalam pembuatan
makalah ini tidak lain adalah untuk mempelajari secara seksama terhadap prilaku
sosial yang menunjukan adanya pertukaran sosial (exchange) dalam “Agama sebagai Pertukaran” dengan menggunakan teori pertukaran (exchange theory).
Akhir kata, tak ada
gading yang tak retak. Makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, Penulis mengharapkan saran dan
kritik guna proses perbaikan dimasa yang akan datang. Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’în, ihdinashirâttal mustaqîm, shirâtal ladzîna an’amta ‘alayhim
ghayril maghdhȗbi ‘alayhim wa ladhâllîn.
Wassalam.
Bandung, Februari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama dan Fungsinya
B. Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
C. Agama sebagai Pertukaran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani
kehidupannya. Manusia hidup tidak sebagai mahluk tunggal atau individu
melainkan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
interaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu.
Interaksi
yang terjadi menjadi sebuah proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau
kebutuhannya tersebut. Dalam proses itu terdapat unsur ganjaran, pengorbanan
dan keuntungan. Unsur-unsur ini muncul dalam teori pertukaran sosial (Social
Exchange).
Teori
pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan
mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya,
khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan,
orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya
(Sasa Djuarsa, 2002: 81). Sedangkan menurut Nina Syam, teori ini melihat
hubungan antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal) (Nina Syam: 2012, 67).
Asumsi
tentang perhitungan antara ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) tidak berarti
bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang
lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang
diinginkannya (Burhan Bungin: 2008, 267).
Berbagai
norma berlaku untuk mengikat cara-cara individu dalam hidup bermasyarakat. Di
antaranya, norma adat/budaya, hukum serta agama. Prinsip-prinsip ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) dalam agama
khususnya Islam seringkali membicaraknya dengan sebutan yang kita kenal dengan
pahala dan dosa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang sebelumnya, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa itu Agama?
2.
Apa itu teori
Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi?
3.
Apa itu Agama
sebagai Pertukaran?
C. Tujuan
Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk mengetahui Agama
2.
Untuk mengetahui
teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
3.
Untuk mengetahui
Agama sebagai Pertukaran
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Agama dan Fungsinya
Agama
diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang
berarti “tidak” dan gama yang berarti
“kacau”. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang
mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sedangkan dalam bahasa Inggris
yaitu Religion yang berasal dari
bahasa latin, yaitu Religio yang
berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agana dikenal dengan kata al-Din dan
al-Milah. Pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum.
Artinya, tidak ditunjukan pada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap
kepercayaan yang ada di dunia ini.[1]
Menurut
Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayai dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumnya.[2]
Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan
pada hal-hal spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual
yang dianggap sebagai tujuan sendiri; (3) ideologi mengenai hal-hal yang
supranatural. Sementara itu, Thomas F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah
pendayagunaan sarana-sarana supra empiris.[3]
Dari
beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama jelas merupakan suatu hal
yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar
jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.[4]
Agama
sesungguhnya tidak mudah untuk didefinisikan atau dilukiskan, karena agama
mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Dunia.
Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat
ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan.
Seorang
sosiolog mendefinisikannya sebagai “sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai
sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menggapai apa yang mereka
rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural)[5].
Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa, agama bukan sesuatu yang dapat
dipahami melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).
Menurutnya tak ada satu pun definisi tentag agama yang benar-benar memuaskan.[6]
Adapun
yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara
empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian. Oleh karena
itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa
sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.[7]
Thomas
F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur
lara dan perekonsiliasi; (2) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah
ada; (3) sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat; (4)
pengkoreksi fungsi yang sudah ada; (5) pemberi identitas diri; (6) pendewasaan
agam.[8]
Fungsi agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya
hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamat, pengawas
sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.[9]
B.
Teori Pertukaran menurut para Tokoh Sosiologi
Menurut perspektif pertukaran, manusia selalu
melakukan transaksi sosial yang saling menguntungkan, baik keuntungan materi
maupun non-materi. Teori pertukaran baik yang dikemukakan oleh teoritisi klasik
maupun modern dapat dijadikan pendekatan untuk menganalisis realitas dan perubahan
sosial. Keberadaan suatu komunitas dalam berhubungan dengan komunitas lain atau
hubungan antar anggota dalam suatu komunitas akan berlangsung sampai pada suatu
titik dimana terjadi keseimbangan satu sama lain (equilibrium), sehingga
anggota komunitas memiliki kepuasan baru.
Dalam metode pertukaran dapat disimpulkan bahwa bila
tindakan manusia selalu mendapatkan imbalan (reward), manusia cenderung
akan melakukan tindakan tersebut secara terus menerus. Ahli teori
pertukaran memiliki asumsi sederhana bahwa interaksi sosial itu mirip dengan
transaksi ekonomi. Akan tatapi, mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak
selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial
dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata.[10]
1. Teori
Pertukaran Sosial Thibaut dan Kelly
Pada
umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat
lain dilihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan
tersebut, yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit). Thibault dan Kelly merasa
yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok
besar mungkin dapat diperoleh cara menggali pola hubungan 2 orang. (Syaiful
Rohim: 2009, 90).
Dalam
teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi:
anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya (Little John:
2011, 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar
dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan
pertukaran antara untung dan rugi dengan orang laian disebut comparison
levels (Burhan Bungin: 2006, 263).
2. Teori
Pertukaran Sosial George C. Homans
Keseluruhan
materi Teori Exchange itu secar garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima
proposisi George Homan berikut:
1. Jika
tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu
memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau kejadian yang
mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan.
Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dan
apa yang terjadi pada waktu sekarang.
2. Menyangkut
frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkahlaku tertentu dan
kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. Makin sering
dalam peristiwa tertentu tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap
tingkahlaku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang
tingkahlakunya itu. Ini juga berlaku terhadap tingkahlaku yang tidak melibatkan
orang lain, yang oleh paradigma fakta sosial tidak dianggap sebagai objek studi
sosiologi seperti tingkhlaku yang berhubungan dengan objek material.
3. Memberikan
arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain terhadap
aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang
ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin seriang ia akan
mengulangi tingkahlakunya itu. Dalam proposisi inilah Homan meletakkan tekanan
dari exchange teorinya. Pertukaran kembali itu (re-exchange)ntentu berlaku
kepada kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan tehadap orang lain adalah yang
mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai
nilai yang lebih berarti bagi orang lain itu. Sebab bila ganjaran yang akan
diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu tingkahlaku
masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut. Tetapi kedalam perhitungan
cost-benefit itu akan masuk juga perhitungan subyektif, yang semata-mata tidak
bersifat ekonomis. Sehingga apa yang dinilai tinggi leh seseorang mungkin tidak
demikian bagi orang lain. Exchange tidak akan terjadi bila nilai sesuatu yang
dipertukarkan itu sama. Karena itu exchange hanya akan terjadi bila cost yang
diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar. Karena exchange itu
terjadi pada konteks berbeda antara kedua pihak maka kedua pihak sama-sama
merasa mendapat untung. Dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis.
4. Makin
sering seseorang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin
berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Idi proposisi
ini berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi.
5. Makin
sering seseorang dirugikan dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar
kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah. Proposisi
ini berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice) dalam proses tukar menukar.[11]
Letak
pembeda utama teori Homans ini memiliki tiga ciri: Pertama, Dasar
dari perilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran perilaku. Kedua,
perilaku sosial pada dasarnya berjalan secara alami dan spontan muncul pada
saat mengadakan interaksi. Ketiga, perilaku sosial pada
dasarnya disebut dyad pada group kecil dan ini merupakan pondamen dasar dari
bangun sosial yang lebih besar.[12]
3. Teori
Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Blau
mengatakan tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertukaran sosial,
tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Social Exchange yang
dimaksudkan dalam teori Blau ialah terbatas pada tindakan-tindakan yang
tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan berhenti apabila
reaksi-reaksi yang diharapkan itu tidak kunjung muncul. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus
dipenuhi bagi prilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: pertama, prilaku tersebut harus
berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi
dengan orang lain. Kedua, prilaku
harus bertujuan untuk memproleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[13]
Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran
ekstrinsik (seperti uang, barang-barang atau jasa-jasa) atau instrinsik (termasuk kasih sayang,
kehormatan atau kecantikan).[14]
Ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran
antar pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu:
1.
Pertukaran atau
transaksi antar individu yang menuju ke social
change
2.
Diferensiasi
status dan kekuasaan yang mengarah ke social
change
3.
Legitimasi dan
pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change
4.
Oposisi dan
pertukaran (Ritzer, 1996: 369).
C. Agama
sebagai Pertukaran
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap
adikodrati (supernatural), memang memilikilatar belakang sejarah yang sudah
lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari berbagai
pernyataan para ahli yang memilki disiplin ilmu yag berbeda, Para
antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang supernatural itu dari sudut
pandang kebudayaan.[15]
Demikian
pula para sosiolog yang menggunakan pendekatan sosiologi berpendapat bahwa
dalam kehidupan masyarakat primitif dijumpai adanya semacam norma yang mengatur
kehidupan mereka.norma-norma tersebut ada yang dilembagakan menjadi tata
kehidupan berbermasyarakat dan dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual.[16]
Menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama adalah
gejala yang begitu sering ”terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri
dan keberadaan alam semesta.[17] Dari
gambaran Elizabeth, sudah telihat bahwa agama itu menjadi sebuah pertukaran
sosial. Karena pertukaran sosial sama halnya dengan sebuah transaksi, jika
seseorang memeluk dan mentaati agamanya maka dia kan mendapatkan kebahagian
batin yang paling sempurna, namun agama juga melibatkan dirinya dalam
masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985:
3-4).[18]
Dalam kehidupan sehari-hari tampak ada hubungan timbal
balik antara agama dengan manusia dan antara agama dengan fakta sosial dan
kehidupan sehari-hari. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang bersifat Adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam
ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai begi kehidupan
manusia sebagai 0rang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan
bermasyarakat.selain itu, agama juga memberikan dampak bagi kehidupan
sehari-hari.[19]
Semua agama menekankan kebajikan seperti kejujuran dan
cinta sesama. Kebijakan seperti ini sangat penting bagi keteraturan prilaku
masyarakat, sehingga bisa menimbulkan dinamika sosial atau perubahan sosial.
Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang
membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri saja, melainkan juga memikirkan kepentingan
bersama.
1)
Agama sebagai
Suatu Tahap Evolusi
Auguste
Comte, yang sering dipandang sebagao “bapak sosiologi”, menyodorkan pandangan
sekuler bahwa agama merupakan suatu tahap evolusi. Singkatnya, gagasan ini
berarti bahwa agama pernah dipandang penting, namun sudah menjadi usang
lantaran perkembangan modern. Yang Kudus
(The Sacred), yang merupakan wewenang agama, digantikan dengan yang sekuler, atau yang digeserkan dari yang
adikodrati (supranatural).[20]
Sistem
keyakinan religious sudah digantikan dengan pengethuan ilmiah, sedangkan
karya-karya pelayanan, penyembahan, pendidikan, dan sosial dari gereja sudah
diambil-alih oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok swasta
non-religious. Comte (1855) menuliskan tiga tahap pemikiran manusia: teologis
(religious), metafisis (filosofis), ilmiah (positif). Bagi Comte hanya tahap
terakhir yang sah, apabila agama masih bertahan, itu pun hanya sebagai “agama
humanitas” yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa,
pemikiran ilmiah sangat mempengaruhi sistem keyakinan agama tradisional dan bahwa
banyak fungsi lembaga agama sudah berubah.[21]
2)
Agama sebagai
Kekuatan Pemersatu Masyarakat
Emile Durkheim menyimpulkan bahwa, tujuan utama agama
dalam masyrakat primitif adalah untuk membantu orang berkuntak bukan dengan
Tuhannya, tetapi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk
mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of
community). Misalnya, mereka bersama-sama ambil bagian dalam peristiwa
perkawinan, kelahiran dan kematian, serta bersama-sama merayakan musim tanam
dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok, tidak seorang pun menghadapi
kehidupan ini sendirian. Dalam suatu negara yang di dalamnya terdapat beragam
keyakinan dan denominasi agama tidak dengan mudah mempersatukan masing-masing
kelompok religius dalam suatu sistem yang saling menopang.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran
penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan
kemampuannya karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat
mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran
agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak
dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan
ketidak pastian.
Thibaut dan Kelly, dalam teori pertukaran sosial (exchange thery) mengatakan, interaksi
manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba memaksimalkan manfaat
dan memperkecil biaya. Jadi prilaku sosial terdiri atas pertukaran, paling
sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi
keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang lain disebut Comparsion Levels.
Teori Homans
memiliki tiga ciri: Pertama, dasar
dari prilaku sosial itu pada pokoknya ialah proses pertukaran prilaku. Kedua, prilaku sosial pada dasarnya berjalan secara
alami dan spontan muncul pada saat mengadakan interaksi. Ketiga, prilaku sosial pada dasarnya disebut dyad pada group kecil
dan ini merupakan pondasi dasar dari bangunan sosial yanglebih besar.
Peter M. Blau,
menurutnya ada empat langkah berurutan mulai dari pertukaran antar pribadi ke
struktur sosial hingga ke perubahan sosial, yaitu: pertukaran atau transaksi
antar individu yang menuju ke social change, diferensiasi status dan
kekuasaan yang mengarah ke social change,
legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari social change, oposisi dan pertukaran.
Semua agama
menekan kebijakan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebijakan seperti ini
sangat penting bagi keteraturan prilaku masyarakat, sehingga bisa menimbulkan
dinamika sosial atau perubahan sosial. Agama menawarkan suatu pandangan dunia
dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong
manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan
memikirkan kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Paul
B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi
Edisi Keenam, (Jakarta: PT. Erlangga, 1984)
2. George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Paradigma Ganda, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
3. Margaret
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
4.
Jalaluddin, Psikologi Agama,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009).
5.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000).
6.
Thomas F. O’Dea,
Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
7.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit
Kansius, 1984).
[1]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 13.
[2]Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 194), hlm. 34.
[3]Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama
[4]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 129.
[5]Paul B. Horton & Chester L.
Hunt, Sosiologi Edisi Keenam,
(Jakarta: PT. Erlangga, 1984), hlm. 304.
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.
305.
[7]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 130.
[8]Thomas F. O’Dea, Op.Cit, hlm. 26.
[9]Hendropuspito, Op.Cit, hlm. 38.
[10]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 58.
[11]George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok:
PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 79-80.
[12]Margaret M.
Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[15]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.
1.
[17]Jalaluddin, op.cit, hlm. 305.
[20]Paul B. Horton & Chester L.
Hunt, op.cit, hlm. 306.
[4]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 129.
[5]Paul B. Horton & Chester L.
Hunt, Sosiologi Edisi Keenam,
(Jakarta: PT. Erlangga, 1984), hlm. 304.
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.
305.
[7]Dadang Kahmad, Op.Cit, hlm. 130.
[8]Thomas F. O’Dea, Op.Cit, hlm. 26.
[9]Hendropuspito, Op.Cit, hlm. 38.
[10]Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 58.
[11]George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda, (Depok:
PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 79-80.
[12]Margaret M.
Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 66.
[15]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.
1.
[17]Jalaluddin, op.cit, hlm. 305.
[20]Paul B. Horton & Chester L.
Hunt, op.cit, hlm. 306.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar