ABSTRAK
Freud
beranggapan bahwa agama adalah bentuk dari suatu ilusi, sehingga mengakibatkan
manusia bersikap bahwa agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, dan menjadi
hasil sikap ilmiah. Pada dasarnya Ellis seorang Tokoh terapi kognitif
behavioral dalam Journal of Counselling
and Clinical Psychology (1980), bahwa Agama yang dogmatis, ortodoks, dan
taat (atau disebut suatu keshalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan
gangguan emosional. Akan tetapi pandangan dari Albert Bandura dan Richard
Walters mengemukakan teori tingkah laku yang berupa pembiasaan merespon
(conditioning) dan meniru (imitation), akan tetapi teori menirunya tersebut
memiliki suatu cara agar berhasil misi menirunya tersebut. Dengan menggunakan
cara mengingat (attention), mengingat (retention), reproduksi gerak
(reproduction), motivasi (motivation).
Disebabkan
hal tersebut jugalah William James melakukan observasi di lapangan, dan
mendapatkan bukti bahwa tingkah laku seseorang itu baik dan benar dapat dilihat
melalui jiwa religinya. Ia membuat suatu karya buku yang berjudul ‘The
Varieties of Religious Experience’, dan di dalam buku tersebut mengemukakan
bahwa menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan dikelompokkan
menjadi dua. Pertama tipe orang sakit jiwa (The Sick Soul). Kedua tipe orang
sehat jiwa (Healthy Minded Ness). Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut
mempengaruhi pemikiran kaum intelektual dan rasionalis, karena harus mempertimbangkan
dengan baik untuk memilih metode dalam mengkontrol tingkah laku dan jiwanya
menuju ke arah yang baik.
Dalam
hal tersebutlah psikologi agama hadir sebagai penengah atau solusi dari
permasalahan tersebut. Ruang lingkup psikologi atau kejiwaan manusia secara
murni dan naluriah telah ada bibit-bibit kejiwaan yang baik tertanam dalam diri
individu, akan tetapi dengan hadirnya agama pula psikologi dapat dituntun agar lebih
berdegradasi memperbaharui fungsinya agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Kata kunci : kognitif, behavioral, dogmatis dan counselling.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
Albert
Bandura, seorang
psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli
dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti
rekan-rekan sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah laku
manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat
reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema
kognitif manusia itu sendiri. Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura
termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari
yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian
contoh prilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah
perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi
atau merespon sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari
respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap prilaku contoh dari orang
lain, misalnya guru atau orang tuanya.
Sedangkan teori perbandingan tingkah
laku keagamaan dicetuskan oleh William James, yang terkutip di dalam karyanya The Varieties of Religious Experience,
yang membedakan pola tingkah laku keagamaan menjadi dua, yaitu: Tipe Orang yang
Sakit Jiwa (The Sick Soul) dan Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded
Ness). Akan tetapi James juga memiliki gambaran mengenai sikap keagamaan dan
pola tingkah laku mengenai keagamaan.
I.2. RUMUSAN MASALAH
A. Sulitnya mengkorelasikan antara
teori tingkah laku dan teori perbandingan tingkah laku keberagamaan.
B. Rasa Keraguan dalam membuktikan penyampaian teori
dari William James, Albert Bandura, dan Richard Walters
C. Pemikiran yang bingung dalam menggunakan metode
terbaik untuk memahami, mengerti dan menerapkan teori tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. TEORI TINGKAH LAKU (BEHAVIOUR) ALBERT BANDURA
DAN RICHARD WALTERS
Albert
Bandura dan Richard Walters (1959, 1963)10, telah melakukan eksperimen lain
yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati,
peniruan boleh berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang
yang ditiru) meskipun tanpa sembarang
peneguhan. Proses belajar semacam ini disebut "observational
learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura, kemudian
menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandangkan teori
pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa memberi
pertimbangan terhadap proses mental seseorang.
Pendekatan teori belajar sosial
terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya
conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan). Condisioning
adalah prosedur belajar dalam mengembangkan prilaku sosial dan moral. Dasar
pemikirannya prosedur belajar dalam mengembangkan prilaku-prilaku lainnya,
yakni dengan reward (ganjaran/memberi hadiah) dan punishment (hukuman/memberi
hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan
antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan prilaku
yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senatiasa berpikir dan memutuskan
prilaku sosial mana yang perlu dibuat.
Imitation adalah
merupakan salah satu cara yang paling penting dalam teori belajar sosial.
Menurut teori sosial learning imitation adalah proses peniruan yang dimainkan
oleh seorarng model atau tokoh yang akan dijadikan contoh berperilaku sosial
dan moral bagi siswa, biasanya yang dijadikan model adalah orang tua atau guru.
Menurut Bandura ada 4 cara dalam melakukan peniruan,
yaitu:
1.
Perhatian (Attention)
Maksudnya
dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari. Proses ini
menyatakan dianggap berpengaruh dikarenakan sebelum sesuatu dapat dipelajari
dari model, model itu harus di perhatikan. Bandura menganggap belajar adalah
proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunujukkan bahwa hanya yang diamati
sajalah yang dapat dipelajari. Berikut adalah contohnya:
Misalkan anda
menggendong anak usia 4 tahun sedangkan dua anak usia empat tahun lainnya
bermain di ruang lain. Saat anak A sedang memukul-mukul anjing peliharaan
dengan pelan-pelan, anak B memeasukkan pisau mentega ke stop kontak listrik.
Semua orang akan belajar sesuatu dari insiden ini. Dikarenakan diasosiasikan
langsung dengan rasa sakit yang tak terduga dan diiringi dengan kekagetan, anak
B akan belajar menghindari pisau mentega, dan bahkan mungkin menghindari stop
kontak. Anak A mungkin akan belajar, atau setidaknya mulai belajar, untuk
menghindatri anjing. Ketika anak B tiba-tiba menjerit dan menangis, suara itu
mengagetkan anak A, dan karena kejadian stimulus baru yang kuat dan tak terduga
ini menimbulkan gerakan otonomik, anjing menjadi diisolasikan dengan respon
tidak terkondisikan terhadap stimulus yang menegangkan. Lewat proses
memerhatikan, anak di pangkuan anda mungkin nanti akan menghindari stop kontak
(jika dia memerhatikan B) atau menghindari anjing (jika memerhatikan anak A),
atau mungkin menghindari anda. Secara insidental, karena banyak prinsip belajar
berlaku untuk anak manusia dan hewan, adalah mungkin pula bahwa si anjing itu
nanti akan menghindari anak-anak.
2.
Mengingat (Retention)
Maksudnya
melakukan pengamatan kemudian menyimpannya dalam memory dalam bentuk ingatan.
Bandura berpendapat bahwa proses retensional disimpan melalui dua cara, yaitu
secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan
secara imajinatif adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model. Sedangkan
secara verbal dsapat dilakukan dengan kode-kode misalnya detail rute
perjalanan seorang model. Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat
diambil kembali, diulang, dan di perkuat beberapa waktu sesudah belajar
observasional terjadi.
3.
Reproduksi
gerak (Reproduction)
Maksudnya
melakukan suatu pengamatan kemudian memperaktekannya dengan cara modifikasi
tindakan. Contohnya seseorang mungkin sudah belajar, lewat pengamatan
atas monyet, cara melompat, cara melompat bergelantungan dari satu pohon ke
pohon lainnya dengan menggunakan ekor, namun ia jelas tidak akan meniru
perilaku si monyet itu karena orang tidak mempunyai ekor. Dengan kata lain,
seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tak mampu
menerjemahkan informasi itu ke dalam prilaku karena ada keterbatasannya.
4.
Motivasi
Maksudnya unsur yang paling penting
dari ketiga unsur, karena ia adalah penggerak unsur untuk melakukan sesuatu.
Dalam proses motivasi ini, Informasi tentang penguatan atau konsekuensi yang
didapatkan model dalam proses modeling juga dapat menjadi alasan bagi pengamat
dalam proses observasi untuk memberikan respon terhadap hasil pengamatan.[1]
Hubungan yang
aktif dapat mengubah aktivitas seseorang.
Seterusnya, menurut Bandura (1982), penguasaan kemahiran dan pengetahuan yang
kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor reproduksi dan motivasi,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur -unsur yang berdasarkan dari diri
pelajar sendiri yaitu sense of self Efficacy dan self regulatory system. Sense
of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai
pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. Self regulatory pula
merujuk kepada:
1) Struktur kognitif yang
memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.
2) Sub proses kognitif yang
dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.
Dalam
pembelajaran self regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation
pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi
atau sebaliknya. Menurut Bandura, untuk Berjaya, pembelajar harus dapat
memberikan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar,
Seterusnya mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi
pembelajar. Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi
proses pembelajaran yaitu seperti yang berikut:
1. Strategi Proses
1).Analisis Tingkah Laku Yang
Akan Dijadikan Model Terdiri Daripada:
a. Apakah karakteristik dari
tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, kemahiran motor atau
efektif?
b.Bagaimanakah urutan atau
sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. dimanakah
letaknya hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2).Tetapkan Fungsi Nilai Dari
Tingkah Laku Dan Pilihlah Tingkah Laku Tersebut Sebagai Model.
a. Apakah
tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yangpenting dalam kehidupan
dimasa datang? (Success predicti on)
b. Bila tingkah
laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model
manakah yang lebih penting?
c.. Apakah model harus hidup atau simbol? Pertimbangan soal pembiayaan,
pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan
tingkah laku.
d.Apakah
peneguhan yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3).Pengembangan Sekuen
a. Untuk mengajar motor skill,
bagaimana cara untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan/ kemampuan yang dipelajari.
4).Implementasi pengajaran
untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi.
2. Kemahiran
motor
1) Hadirkan
model
2) Beri
kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik
3) Beri
kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan timbal balik visual.
3. Proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang
didukung oleh kod-kod verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada
berbagai contoh.
2) Jika yang dipelajari adalah
pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk
berpertisipasi secara aktif.
3) Beri kesempatan pembelajar
untuk membuat generalisasi dalam berbagai situasi.[2]
II.2. TEORI PERBANDINGAN TINGKAH LAKU KEAGAMAAN WILLIAM JAMES
Ciri-Ciri
dan Sikap Keberagamaan
William James melihat adanya hubungan antara tingkah
laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya itu.
Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, William James
menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu :
1. Tipe Orang
yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Sikap
keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah
mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut
meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas
kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak
hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan
secara normal. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami
sebelumnya, mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap fanatik terhadap
agama yang diyakininya. Penderitaan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern :
a. Faktor intern yang menjadi penyebab
dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen, merupakan salah satu unsur pembentuk
kepribadian, tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan
penting dalam sikap keagamaan seseorang.
2) Gangguan Jiwa, orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan
dalam sikap dan tingkah lakunya.
3) Konflik dan Keraguan, konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang
mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan keraguan ini
dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun
agnostis hingga ke ateis.
4) Jauh dari Tuhan, orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama,
lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi
cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sikap keagamaan pada dirinya.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan
mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap
:
a) Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk
berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b) Introvert, segala marabahaya dan penderitaan selalu
dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c) Menyenangi paham yang Ortodoks, dorongan untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih
konservatif dan ortodoks.
d) Mengalami proses keagamaan secara
Nograduasi, timbulnya keyakinan beragama pada
mereka melalui proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba.
b. Faktor
ekstern yang turut mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak, adalah:
1) Musibah, terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang.
Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia dalam
berbagai macam tafsiran.
2) Kejahatan, terkadang mereka yang hidup dalam garis kejahatan akan
merasakan dirinya itu berdosa karena perbuatannya tersebut, sehingga dapat
mengguncang batinnya menuju perubahan.
2. Tipe Orang
yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan
sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan
oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah :
a.
Optimis dan
gembira
Orang yang
sehat jiwa selalu menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan
optimis. Segala bentuk musibah dan penderitaan bukan berarti itu karena Tuhan
marah, namun lebih kepada kesalahan dan keteledoran sendiri. Mereka yakin bahwa
Tuhan bersifat pengasih dan penyayang, mereka selalu dapat mengambil hikmah
dari setiap kejadian yang menimpanya.
b.
Ekstrovet
dan tak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka
mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses
agamis tindakannya. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran
agama, sehingga akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama, dosa
mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
c.
Menyenangi
ajaran setauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka
mereka cenderung :
1) Menyenangi teologi yang luwes dan
tidak kaku.
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan
yang lebih bebas.
3) Menekankan ajaran cinta kasih
daripada kemurkaan dan dosa.
4) Mempelopori pembelaan terhadap
kepentingan agama secara sosial.
5) Selalu berpandangan positif.
6) Berkembang
secara graduasi (meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan benar)
Walaupun
keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan
dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam
kenyataan yang ditemui masih banyak juga orang dewasa yang berubah keyakinan
dan kepercayaan.
C. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Sikap
dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at 1982:
19). Rumusan umum tentang sikap adalah :
1. Sikap
merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang
terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2. Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitudes have referent).
3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah,
sekolah, tempat ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau
percakapan (attitudes are social learning).
4. Sikap sebagai wujud kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu
terhadap objek (attitudes have readiness to respons).
5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang
tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes
are affective).
6. Sikap
memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes
are very intensive).
7. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat
tertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu
cocok (attitudes have a time dimension).
8. Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu
(attitudes have duration factor).
9. Sikap
merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes
are complex).
10. Sikap
merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi
tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11. Sikap
merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).[3]
II.3.
PANDANGAN JALALUDDIN RAKHMAT
Ada tiga komponen dalam hubungan psikologi antara
sikap dengan pola tingkah laku seseorang, yaitu: kognisi, afeksi, dan konasi.
a. Komponen kognisi, akan menjawab
tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek.
b. Komponen afeksi, dikaitkan dengan
apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang).
c. Komponen konasi berhubungan dengan
kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek. Dengan demikian sikap
yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan
pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu objek.
Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau
positif, akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt behaviour) pada diri
seseorang atau kelompok. Sedangkan motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi biasanya akan berperan sebagai
sikap pusat yang akhirnya akan membentuk predisposisi. Proses ini terjadi dalam
diri seseorang terutama pada tingkat usia dini. Prediposisi itu merupakan
sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan
dirinya sendiri. Dalam hubungan ini tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan
dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.[4]
II.4. KONSEP
PEMIKIRAN GORDON W. ALLPORT
Sifat kompleks yang ada pada manusia itu terlalu besar
untuk dimengerti secara sempurna oleh metode dan konsepsi-konsepsi ahli
psikologi. Baginya kepribadian adalah masalah yang harus dihadapi dengan cara
yang sebaik mungkin yang dapat dipergunakan pada dewasa ini, karena itulah maka
dia memperhatikan soal-soal desas-desus, radio, prasangka, kepercayaan, sikap
dan lain-lain persoalan manusia. Allport mengungkapkan, bahwa struktur
kepribadian itu terutama dinyatakan dalam sifat-sifat (traits) dan tingkah laku
didorong oleh sifat-sifat (traits). Jadi struktur dan dinamika itu pada umumnya
satu dan sama. Allport berpendapat bahwa masing-masing pengertian refleks
bersyarat, kebiasaan, sikap, sifat, diri (self) dan kepribadian itu kesemuanya
masing-masing adalah bermanfaat.[5]
II.5.
MINDSET MASLOW
Behaviorisme mengorbankan manusia pada belas kasih
lingkungan. Karena perhatiannya bertumpu pada pengalaman objektif, behaviorisme
menolak pengalaman personal, yang sangat berarti dalam kehidupan manusia.
Karena psikoanalisis menganggap bahwa nilai-nilai tinggi dalam kehidupan
hanyalah topeng untuk menutupi kebutuhan naluriah yang rendah, ia menjadi
sangat nihilistik.[6]
II.6.
PEMIKIRAN ELLIS
Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam
Journal of Counseling and Clinical
Psychology, terbitan 1980:
Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat berkorelasi
sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya
dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut.
Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai
hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional
bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang
sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah.
Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional
dan gangguan emosional.
II.7.
DOKTRIN C.G. JUNG
Jung menyebutkan adanya colective unconsious, “dasar psyche
universal yang terdalam” atau “the
powerful and controlling repository of uncestral experiences”. Collective Unconsious terdiri dari
arketip atau simbol mitos universal. Arketip yang paling utama adalah persona,
animus, anima, dan shadow.
1. Persona (diambil dari kata yang berarti
topeng yang dipakai dalam drama Yunani) menutupi ego dan menyampaikan wajahnya
yang terbaik kepada dunia. Persona berbeda dengan kompleks, karena kurang
otonom dan lebih merupakan alat ego.
2. Animus, dan Anima merupakan aspek psyche yang
paling penting secara klinis. Animus adalah aspek kelaki-lakian yang terdapat
pada diri perempuan, termasuk cara laki-laki merasakan, menilai, membuat
konsep, dan berhubungan.
3. Shadow adalah bagian dari pribadi
luar kesadaran, terutama bagian yang tidak sama dengan citra diri seseorang dan
karena itu ditekan ke dalam jiwa tak sadarnya, direpresi.
Menurut Jung, tradisi agama dengan mitosnya, cerita,
ritual dan citra keagamaan yang menampakkan arketip sangatlah membantu
mempercepat individuasi. Akhirnya, menurut Jung, hubungan terbuka antara
kekuatan sadar dan tak sadar sangat penting untuk integrasi kepribadian. Tanda
spiritualitas yang sejati.[7]
BAB III
PENUTUP
III.1.
KESIMPULAN
Berbagai macam pemikiran dari pakar psikologi agama
mengungkapkan metode, landasan teoritis dan berbagai macam contoh dari
pengalaman yang telah diamati oleh mereka. Sehingga menimbulkan titik terang
mengenai tingkah laku (praktek normatif) yang tumbuh dari hati nurani murni
yang baik dan tingkah laku keagamaan (praktek normatif religi) yaitu bertumbuh
dari hati nurani manusia, akan tetapi dikembangkan, dimonitor, dan
difilterisasi oleh kaidah keagamaan yang mutlak. Efisiensi dari pemikiran
tingkah laku keagamaan bisa diacungi jempol, karena dengan teori tersebut
manusia bisa mengembangkan modal awal dari Tuhan yaitu akalnya, akan tetapi
tidak melupakan esensi dari akal tersebut pasti memiliki batasannya sebagai
alat yang lemah dan akan tergerus oleh waktu (kematian). Oleh karena itu jika
lebih baiknya kita menggunakan metode praktek normatif religi, dikarenakan
pemikiran tersebut moderat dan bisa mengikuti perkembangan zaman.
DAFTAR
SUMBER
I.
INTERNET
Ekodageink. Psikologi
Agama-Tingkah Laku Keagamaan. Artikel Ilmiah. Diakses dari http://ekodageink.blogspot.co.id/2012/11/psikologi-agama-tingkah-laku-keagamaan.html?m=1.
pada 27 November 2012. pukul 05.25.
Habibi, Rahman. Teori
Tingkah Laku. Artikel Ilmiah. Diakses dari http://rakhmanhabibi.blogspot.co.id/2013/10/teori-tingkah-laku.html?m=1.
Pada Rabu, 23 Oktober 2013. Pukul 15.39.
Holil, Anwar. Teori
Pembelajaran Sosial. Artikel Ilmiah. diakses dari http://anwarholil.blogspot.co.id/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html?m=1.
Pada Minggu, 18 januariABSTRAK
Freud
beranggapan bahwa agama adalah bentuk dari suatu ilusi, sehingga mengakibatkan
manusia bersikap bahwa agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, dan menjadi
hasil sikap ilmiah. Pada dasarnya Ellis seorang Tokoh terapi kognitif
behavioral dalam Journal of Counselling
and Clinical Psychology (1980), bahwa Agama yang dogmatis, ortodoks, dan
taat (atau disebut suatu keshalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan
gangguan emosional. Akan tetapi pandangan dari Albert Bandura dan Richard
Walters mengemukakan teori tingkah laku yang berupa pembiasaan merespon
(conditioning) dan meniru (imitation), akan tetapi teori menirunya tersebut
memiliki suatu cara agar berhasil misi menirunya tersebut. Dengan menggunakan
cara mengingat (attention), mengingat (retention), reproduksi gerak
(reproduction), motivasi (motivation).
Disebabkan
hal tersebut jugalah William James melakukan observasi di lapangan, dan
mendapatkan bukti bahwa tingkah laku seseorang itu baik dan benar dapat dilihat
melalui jiwa religinya. Ia membuat suatu karya buku yang berjudul ‘The
Varieties of Religious Experience’, dan di dalam buku tersebut mengemukakan
bahwa menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan dikelompokkan
menjadi dua. Pertama tipe orang sakit jiwa (The Sick Soul). Kedua tipe orang
sehat jiwa (Healthy Minded Ness). Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut
mempengaruhi pemikiran kaum intelektual dan rasionalis, karena harus mempertimbangkan
dengan baik untuk memilih metode dalam mengkontrol tingkah laku dan jiwanya
menuju ke arah yang baik.
Dalam
hal tersebutlah psikologi agama hadir sebagai penengah atau solusi dari
permasalahan tersebut. Ruang lingkup psikologi atau kejiwaan manusia secara
murni dan naluriah telah ada bibit-bibit kejiwaan yang baik tertanam dalam diri
individu, akan tetapi dengan hadirnya agama pula psikologi dapat dituntun agar lebih
berdegradasi memperbaharui fungsinya agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Kata kunci : kognitif, behavioral, dogmatis dan counselling.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
Albert
Bandura, seorang
psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli
dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti
rekan-rekan sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah laku
manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat
reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema
kognitif manusia itu sendiri. Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura
termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari
yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian
contoh prilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah
perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi
atau merespon sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari
respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap prilaku contoh dari orang
lain, misalnya guru atau orang tuanya.
Sedangkan teori perbandingan tingkah
laku keagamaan dicetuskan oleh William James, yang terkutip di dalam karyanya The Varieties of Religious Experience,
yang membedakan pola tingkah laku keagamaan menjadi dua, yaitu: Tipe Orang yang
Sakit Jiwa (The Sick Soul) dan Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded
Ness). Akan tetapi James juga memiliki gambaran mengenai sikap keagamaan dan
pola tingkah laku mengenai keagamaan.
I.2. RUMUSAN MASALAH
A. Sulitnya mengkorelasikan antara
teori tingkah laku dan teori perbandingan tingkah laku keberagamaan.
B. Rasa Keraguan dalam membuktikan penyampaian teori
dari William James, Albert Bandura, dan Richard Walters
C. Pemikiran yang bingung dalam menggunakan metode
terbaik untuk memahami, mengerti dan menerapkan teori tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. TEORI TINGKAH LAKU (BEHAVIOUR) ALBERT BANDURA
DAN RICHARD WALTERS
Albert
Bandura dan Richard Walters (1959, 1963)10, telah melakukan eksperimen lain
yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati,
peniruan boleh berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang
yang ditiru) meskipun tanpa sembarang
peneguhan. Proses belajar semacam ini disebut "observational
learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura, kemudian
menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandangkan teori
pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa memberi
pertimbangan terhadap proses mental seseorang.
Pendekatan teori belajar sosial
terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya
conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan). Condisioning
adalah prosedur belajar dalam mengembangkan prilaku sosial dan moral. Dasar
pemikirannya prosedur belajar dalam mengembangkan prilaku-prilaku lainnya,
yakni dengan reward (ganjaran/memberi hadiah) dan punishment (hukuman/memberi
hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan
antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan prilaku
yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senatiasa berpikir dan memutuskan
prilaku sosial mana yang perlu dibuat.
Imitation adalah
merupakan salah satu cara yang paling penting dalam teori belajar sosial.
Menurut teori sosial learning imitation adalah proses peniruan yang dimainkan
oleh seorarng model atau tokoh yang akan dijadikan contoh berperilaku sosial
dan moral bagi siswa, biasanya yang dijadikan model adalah orang tua atau guru.
Menurut Bandura ada 4 cara dalam melakukan peniruan,
yaitu:
1.
Perhatian (Attention)
Maksudnya
dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari. Proses ini
menyatakan dianggap berpengaruh dikarenakan sebelum sesuatu dapat dipelajari
dari model, model itu harus di perhatikan. Bandura menganggap belajar adalah
proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunujukkan bahwa hanya yang diamati
sajalah yang dapat dipelajari. Berikut adalah contohnya:
Misalkan anda
menggendong anak usia 4 tahun sedangkan dua anak usia empat tahun lainnya
bermain di ruang lain. Saat anak A sedang memukul-mukul anjing peliharaan
dengan pelan-pelan, anak B memeasukkan pisau mentega ke stop kontak listrik.
Semua orang akan belajar sesuatu dari insiden ini. Dikarenakan diasosiasikan
langsung dengan rasa sakit yang tak terduga dan diiringi dengan kekagetan, anak
B akan belajar menghindari pisau mentega, dan bahkan mungkin menghindari stop
kontak. Anak A mungkin akan belajar, atau setidaknya mulai belajar, untuk
menghindatri anjing. Ketika anak B tiba-tiba menjerit dan menangis, suara itu
mengagetkan anak A, dan karena kejadian stimulus baru yang kuat dan tak terduga
ini menimbulkan gerakan otonomik, anjing menjadi diisolasikan dengan respon
tidak terkondisikan terhadap stimulus yang menegangkan. Lewat proses
memerhatikan, anak di pangkuan anda mungkin nanti akan menghindari stop kontak
(jika dia memerhatikan B) atau menghindari anjing (jika memerhatikan anak A),
atau mungkin menghindari anda. Secara insidental, karena banyak prinsip belajar
berlaku untuk anak manusia dan hewan, adalah mungkin pula bahwa si anjing itu
nanti akan menghindari anak-anak.
2.
Mengingat (Retention)
Maksudnya
melakukan pengamatan kemudian menyimpannya dalam memory dalam bentuk ingatan.
Bandura berpendapat bahwa proses retensional disimpan melalui dua cara, yaitu
secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan
secara imajinatif adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model. Sedangkan
secara verbal dsapat dilakukan dengan kode-kode misalnya detail rute
perjalanan seorang model. Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat
diambil kembali, diulang, dan di perkuat beberapa waktu sesudah belajar
observasional terjadi.
3.
Reproduksi
gerak (Reproduction)
Maksudnya
melakukan suatu pengamatan kemudian memperaktekannya dengan cara modifikasi
tindakan. Contohnya seseorang mungkin sudah belajar, lewat pengamatan
atas monyet, cara melompat, cara melompat bergelantungan dari satu pohon ke
pohon lainnya dengan menggunakan ekor, namun ia jelas tidak akan meniru
perilaku si monyet itu karena orang tidak mempunyai ekor. Dengan kata lain,
seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tak mampu
menerjemahkan informasi itu ke dalam prilaku karena ada keterbatasannya.
4.
Motivasi
Maksudnya unsur yang paling penting
dari ketiga unsur, karena ia adalah penggerak unsur untuk melakukan sesuatu.
Dalam proses motivasi ini, Informasi tentang penguatan atau konsekuensi yang
didapatkan model dalam proses modeling juga dapat menjadi alasan bagi pengamat
dalam proses observasi untuk memberikan respon terhadap hasil pengamatan.[1]
Hubungan yang
aktif dapat mengubah aktivitas seseorang.
Seterusnya, menurut Bandura (1982), penguasaan kemahiran dan pengetahuan yang
kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor reproduksi dan motivasi,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur -unsur yang berdasarkan dari diri
pelajar sendiri yaitu sense of self Efficacy dan self regulatory system. Sense
of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai
pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. Self regulatory pula
merujuk kepada:
1) Struktur kognitif yang
memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.
2) Sub proses kognitif yang
dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.
Dalam
pembelajaran self regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation
pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi
atau sebaliknya. Menurut Bandura, untuk Berjaya, pembelajar harus dapat
memberikan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar,
Seterusnya mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi
pembelajar. Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi
proses pembelajaran yaitu seperti yang berikut:
1. Strategi Proses
1).Analisis Tingkah Laku Yang
Akan Dijadikan Model Terdiri Daripada:
a. Apakah karakteristik dari
tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, kemahiran motor atau
efektif?
b.Bagaimanakah urutan atau
sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. dimanakah
letaknya hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2).Tetapkan Fungsi Nilai Dari
Tingkah Laku Dan Pilihlah Tingkah Laku Tersebut Sebagai Model.
a. Apakah
tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yangpenting dalam kehidupan
dimasa datang? (Success predicti on)
b. Bila tingkah
laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model
manakah yang lebih penting?
c.. Apakah model harus hidup atau simbol? Pertimbangan soal pembiayaan,
pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan
tingkah laku.
d.Apakah
peneguhan yang akan didapat melalui model yang dipilih?
3).Pengembangan Sekuen
a. Untuk mengajar motor skill,
bagaimana cara untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan/ kemampuan yang dipelajari.
4).Implementasi pengajaran
untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi.
2. Kemahiran
motor
1) Hadirkan
model
2) Beri
kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik
3) Beri
kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan timbal balik visual.
3. Proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang
didukung oleh kod-kod verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada
berbagai contoh.
2) Jika yang dipelajari adalah
pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk
berpertisipasi secara aktif.
3) Beri kesempatan pembelajar
untuk membuat generalisasi dalam berbagai situasi.[2]
II.2. TEORI PERBANDINGAN TINGKAH LAKU KEAGAMAAN WILLIAM JAMES
Ciri-Ciri
dan Sikap Keberagamaan
William James melihat adanya hubungan antara tingkah
laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya itu.
Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, William James
menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu :
1. Tipe Orang
yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Sikap
keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah
mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut
meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas
kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak
hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan
secara normal. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami
sebelumnya, mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap fanatik terhadap
agama yang diyakininya. Penderitaan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern :
a. Faktor intern yang menjadi penyebab
dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen, merupakan salah satu unsur pembentuk
kepribadian, tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan
penting dalam sikap keagamaan seseorang.
2) Gangguan Jiwa, orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan
dalam sikap dan tingkah lakunya.
3) Konflik dan Keraguan, konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang
mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan keraguan ini
dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun
agnostis hingga ke ateis.
4) Jauh dari Tuhan, orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama,
lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi
cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sikap keagamaan pada dirinya.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan
mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap
:
a) Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk
berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b) Introvert, segala marabahaya dan penderitaan selalu
dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c) Menyenangi paham yang Ortodoks, dorongan untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih
konservatif dan ortodoks.
d) Mengalami proses keagamaan secara
Nograduasi, timbulnya keyakinan beragama pada
mereka melalui proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba.
b. Faktor
ekstern yang turut mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak, adalah:
1) Musibah, terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang.
Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia dalam
berbagai macam tafsiran.
2) Kejahatan, terkadang mereka yang hidup dalam garis kejahatan akan
merasakan dirinya itu berdosa karena perbuatannya tersebut, sehingga dapat
mengguncang batinnya menuju perubahan.
2. Tipe Orang
yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan
sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan
oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah :
a.
Optimis dan
gembira
Orang yang
sehat jiwa selalu menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan
optimis. Segala bentuk musibah dan penderitaan bukan berarti itu karena Tuhan
marah, namun lebih kepada kesalahan dan keteledoran sendiri. Mereka yakin bahwa
Tuhan bersifat pengasih dan penyayang, mereka selalu dapat mengambil hikmah
dari setiap kejadian yang menimpanya.
b.
Ekstrovet
dan tak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka
mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses
agamis tindakannya. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran
agama, sehingga akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama, dosa
mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
c.
Menyenangi
ajaran setauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka
mereka cenderung :
1) Menyenangi teologi yang luwes dan
tidak kaku.
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan
yang lebih bebas.
3) Menekankan ajaran cinta kasih
daripada kemurkaan dan dosa.
4) Mempelopori pembelaan terhadap
kepentingan agama secara sosial.
5) Selalu berpandangan positif.
6) Berkembang
secara graduasi (meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan benar)
Walaupun
keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan
dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam
kenyataan yang ditemui masih banyak juga orang dewasa yang berubah keyakinan
dan kepercayaan.
C. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Sikap
dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at 1982:
19). Rumusan umum tentang sikap adalah :
1. Sikap
merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang
terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2. Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitudes have referent).
3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah,
sekolah, tempat ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau
percakapan (attitudes are social learning).
4. Sikap sebagai wujud kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu
terhadap objek (attitudes have readiness to respons).
5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang
tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes
are affective).
6. Sikap
memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes
are very intensive).
7. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat
tertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu
cocok (attitudes have a time dimension).
8. Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu
(attitudes have duration factor).
9. Sikap
merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes
are complex).
10. Sikap
merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi
tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11. Sikap
merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).[3]
II.3.
PANDANGAN JALALUDDIN RAKHMAT
Ada tiga komponen dalam hubungan psikologi antara
sikap dengan pola tingkah laku seseorang, yaitu: kognisi, afeksi, dan konasi.
a. Komponen kognisi, akan menjawab
tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek.
b. Komponen afeksi, dikaitkan dengan
apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang).
c. Komponen konasi berhubungan dengan
kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek. Dengan demikian sikap
yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan
pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu objek.
Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau
positif, akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt behaviour) pada diri
seseorang atau kelompok. Sedangkan motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi biasanya akan berperan sebagai
sikap pusat yang akhirnya akan membentuk predisposisi. Proses ini terjadi dalam
diri seseorang terutama pada tingkat usia dini. Prediposisi itu merupakan
sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan
dirinya sendiri. Dalam hubungan ini tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan
dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.[4]
II.4. KONSEP
PEMIKIRAN GORDON W. ALLPORT
Sifat kompleks yang ada pada manusia itu terlalu besar
untuk dimengerti secara sempurna oleh metode dan konsepsi-konsepsi ahli
psikologi. Baginya kepribadian adalah masalah yang harus dihadapi dengan cara
yang sebaik mungkin yang dapat dipergunakan pada dewasa ini, karena itulah maka
dia memperhatikan soal-soal desas-desus, radio, prasangka, kepercayaan, sikap
dan lain-lain persoalan manusia. Allport mengungkapkan, bahwa struktur
kepribadian itu terutama dinyatakan dalam sifat-sifat (traits) dan tingkah laku
didorong oleh sifat-sifat (traits). Jadi struktur dan dinamika itu pada umumnya
satu dan sama. Allport berpendapat bahwa masing-masing pengertian refleks
bersyarat, kebiasaan, sikap, sifat, diri (self) dan kepribadian itu kesemuanya
masing-masing adalah bermanfaat.[5]
II.5.
MINDSET MASLOW
Behaviorisme mengorbankan manusia pada belas kasih
lingkungan. Karena perhatiannya bertumpu pada pengalaman objektif, behaviorisme
menolak pengalaman personal, yang sangat berarti dalam kehidupan manusia.
Karena psikoanalisis menganggap bahwa nilai-nilai tinggi dalam kehidupan
hanyalah topeng untuk menutupi kebutuhan naluriah yang rendah, ia menjadi
sangat nihilistik.[6]
II.6.
PEMIKIRAN ELLIS
Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam
Journal of Counseling and Clinical
Psychology, terbitan 1980:
Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat berkorelasi
sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya
dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut.
Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai
hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional
bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang
sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah.
Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional
dan gangguan emosional.
II.7.
DOKTRIN C.G. JUNG
Jung menyebutkan adanya colective unconsious, “dasar psyche
universal yang terdalam” atau “the
powerful and controlling repository of uncestral experiences”. Collective Unconsious terdiri dari
arketip atau simbol mitos universal. Arketip yang paling utama adalah persona,
animus, anima, dan shadow.
1. Persona (diambil dari kata yang berarti
topeng yang dipakai dalam drama Yunani) menutupi ego dan menyampaikan wajahnya
yang terbaik kepada dunia. Persona berbeda dengan kompleks, karena kurang
otonom dan lebih merupakan alat ego.
2. Animus, dan Anima merupakan aspek psyche yang
paling penting secara klinis. Animus adalah aspek kelaki-lakian yang terdapat
pada diri perempuan, termasuk cara laki-laki merasakan, menilai, membuat
konsep, dan berhubungan.
3. Shadow adalah bagian dari pribadi
luar kesadaran, terutama bagian yang tidak sama dengan citra diri seseorang dan
karena itu ditekan ke dalam jiwa tak sadarnya, direpresi.
Menurut Jung, tradisi agama dengan mitosnya, cerita,
ritual dan citra keagamaan yang menampakkan arketip sangatlah membantu
mempercepat individuasi. Akhirnya, menurut Jung, hubungan terbuka antara
kekuatan sadar dan tak sadar sangat penting untuk integrasi kepribadian. Tanda
spiritualitas yang sejati.[7]
BAB III
PENUTUP
III.1.
KESIMPULAN
Berbagai macam pemikiran dari pakar psikologi agama
mengungkapkan metode, landasan teoritis dan berbagai macam contoh dari
pengalaman yang telah diamati oleh mereka. Sehingga menimbulkan titik terang
mengenai tingkah laku (praktek normatif) yang tumbuh dari hati nurani murni
yang baik dan tingkah laku keagamaan (praktek normatif religi) yaitu bertumbuh
dari hati nurani manusia, akan tetapi dikembangkan, dimonitor, dan
difilterisasi oleh kaidah keagamaan yang mutlak. Efisiensi dari pemikiran
tingkah laku keagamaan bisa diacungi jempol, karena dengan teori tersebut
manusia bisa mengembangkan modal awal dari Tuhan yaitu akalnya, akan tetapi
tidak melupakan esensi dari akal tersebut pasti memiliki batasannya sebagai
alat yang lemah dan akan tergerus oleh waktu (kematian). Oleh karena itu jika
lebih baiknya kita menggunakan metode praktek normatif religi, dikarenakan
pemikiran tersebut moderat dan bisa mengikuti perkembangan zaman.
DAFTAR
SUMBER
I.
INTERNET
Ekodageink. Psikologi
Agama-Tingkah Laku Keagamaan. Artikel Ilmiah. Diakses dari http://ekodageink.blogspot.co.id/2012/11/psikologi-agama-tingkah-laku-keagamaan.html?m=1.
pada 27 November 2012. pukul 05.25.
Habibi, Rahman. Teori
Tingkah Laku. Artikel Ilmiah. Diakses dari http://rakhmanhabibi.blogspot.co.id/2013/10/teori-tingkah-laku.html?m=1.
Pada Rabu, 23 Oktober 2013. Pukul 15.39.
Holil, Anwar. Teori
Pembelajaran Sosial. Artikel Ilmiah. diakses dari http://anwarholil.blogspot.co.id/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html?m=1.
Pada Minggu, 18 januari 2009. Pukul 21.47.
II.
PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi
Kepribadian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
[1] Rahman Habibi,
“Teori Tingkah Laku”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://rakhmanhabibi.blogspot.co.id/2013/10/teori-tingkah-laku.html?m=1, pada Rabu, 23
Oktober 2013 pukul 15.39.
[2] Anwar Holil,
“Teori Pembelajaran Sosial”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://anwarholil.blogspot.co.id/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html?m=1, pada Minggu,
18 januari 2009 pukul 21.47.
[3] Ekodageink,
“Psikologi Agama – Tingkah Laku Keagamaan”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://ekodageink.blogspot.co.id/2012/11/psikologi-agama-tingkah-laku-keagamaan.html?m=1, pada 27
November 2012 pukul 05.25.
[4] Jalaluddin
Rakhmat. Psikologi Agama .Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada. 1996. hlm.188-189.
[5] Sumadi
Suryabrata. Psikologi Kepribadian. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2006.
Hlm. 203-204
[6] Jalaluddin Rakhmat. Op.cit. hlm. 120.
[7] Ibid. hlm. 215-216.2009. Pukul 21.47.
II.
PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi
Kepribadian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
[1] Rahman Habibi,
“Teori Tingkah Laku”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://rakhmanhabibi.blogspot.co.id/2013/10/teori-tingkah-laku.html?m=1, pada Rabu, 23
Oktober 2013 pukul 15.39.
[2] Anwar Holil,
“Teori Pembelajaran Sosial”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://anwarholil.blogspot.co.id/2009/01/teori-pembelajaran-sosial.html?m=1, pada Minggu,
18 januari 2009 pukul 21.47.
[3] Ekodageink,
“Psikologi Agama – Tingkah Laku Keagamaan”, Artikel Ilmiah, diakses dari http://ekodageink.blogspot.co.id/2012/11/psikologi-agama-tingkah-laku-keagamaan.html?m=1, pada 27
November 2012 pukul 05.25.
[4] Jalaluddin
Rakhmat. Psikologi Agama .Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada. 1996. hlm.188-189.
[5] Sumadi
Suryabrata. Psikologi Kepribadian. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2006.
Hlm. 203-204
[6] Jalaluddin Rakhmat. Op.cit. hlm. 120.
[7] Ibid. hlm. 215-216.